Rumi: Kumpulan Ceramah 4

Setiap orang berada di tengah-tengah kebutuhan mereka sendiri. Tak ada satu makhluk pun yang dapat dipisahkan dengan kebutuhannya masing-masing.

Kebutuhanlah yang mendekatkan mereka
Bukan ayah dan ibu mereka

Kebutuhanlah yang mengikat mereka seperti ikatan pada rantai. Lalu, siapakah yang akan mempererat mereka? Pertanyaan ini agak lucu – karena setiap orang harus melakukannya untuk diri mereka sendiri.

Jika kita dikungkungi oleh kebutuhan kita sendiri, maka kita juga dilingkupi oleh Sang Tunggal yang memberikan kita kebutuhan itu. Jika kita tetap terpaut pada pengikat diri kita, maka kitapun selalu terhubung dengan Sang Esa yang telah menciptakan ikatan itu. Tetapi jika mata kita hanya terpaku pada pengikat kita saja, maka kita akan kehilangan kekuatan dan harapan. Mata kita seharusnya memandang kepada Sang Maha Satu yang telah menciptakan pengikat itu. Dan setelah itu, kita akan menerima semua kelemahan diri dengan lapang dada. Perasaan akan adanya keterikatan membuktikan bahwa ada Dzat Tunggal yang telah menciptakan ikatan itu untuk kita.
“Menjauhlah,” kata mereka. “Jangan mendekat.”

Bagaimana mungkin aku menjauh karena aku butuh padamu?
Tuhan memberikan keawetmudaan kepada orang tua yang orang muda tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Kekuatan adalah di usia tua,
Ketika rambut putih kelihatan,
Maka sebenarnya permainan baru saja dimulai.

Orang tua memandang dunia ini dengan perasaan yang segar, seolah-olah dunia ini baru saja diciptakan. Mereka bermain sambil tertawa riang.
Mereka bertanya, “Ketika seseorang telah berumur lebih dari delapan puluh tahun, apakah mereka masih ingin bermain?”
“Apakah mereka ingin bermain saat usianya belum mencapai delapan puluh tahun?” kataku.

Maka kemenangan di usia tua lebih dari apa yang telah diperlihatkan oleh Allah. Di musim semi, Allah memperlihatkan keagunganNya sambil tersenyum. Di musim gugur, ketuaanpun menampakkan diri. Seluruh ladang menjadi kehilangan keindahannya. Dan kemurahhatian yang nyatapun akhirnya berlalu.

Tuhan melebihi segala sesuatu
Sehingga kekuatan yang menghancurkan pun dapat disandangkan
→ Readmore...

Rumi: Kumpulan Ceramah 3

Lagu-lagu rintihan dan dan permohonan yang panjang dari para pencari dan pengelana menceritakan tentang hidup yang penuh dengan kerja keras dan kesetiaan yang dilakukan seiring dengan perjalanan sang waktu. Mereka bekerja dan memegang teguh kesetiaan seolah-olah ada yang mengawasi mereka. Contohnya, ketika terbit fajar, mereka bangun untuk melakukan ibadah dan tafakkur saat pikiran mereka masih bersih dan tenang. Mereka melakukan pekerjaan yang sesuai dengan hati nurani dan datang dari dalam jiwa mereka yang suci.

Dalam perjalanan spiritual, maqam-maqam spiritual itu tak terhitung jumlahnya. Semakin suci jiwa seseorang maka semakin tinggi maqam yang dicapainya. Perkembangan spiritual itu merupakan tahapan yang sangat panjang. Barangsiapa yang mencoba memperpendeknya berarti memperpendek hidup dan jiwa mereka sendiri. Dan tentang lagu-lagu pujian dari orang-orang yang telah mencapai penyatuan dengan Tuhan, saya harus berbicara dalam batasan pengertian -–tentang kecintaan dan kesucian suara mereka yang menarik jiwa-jiwa yang suci, malaikat al-muqarrabin dan tamu-tamu mereka yang hanya Tuhan yang mengetahuinya —orang-orang diam yang nama-nama mereka tersembunyi dari dunia yang dapat dijangkau oleh kecemburuan.

Saat ini kamu mungkin sedang duduk disamping mereka tapi kamu tidak mampu melihatnya. Kamu mungkin bahkan mendengar suaranya, uacapan-ucapannya atau gelak tawanya. Lalu apa yang menjadi penghalang dalam hal ini? Ketika seseorang menderita sakit, maka dia akan menyaksikan sesuatu yang aneh dan ‘ghaib’ yang orang lain tidak dapat melihatnya. Dibandingkan dengan kondisi ini, keadaan-keadaan spiritual jauh lebih halus. Pada kebanyakan orang yang tidak dapat melihat ‘keghaiban’ ini kecuali pada saat sakit, mereka tidak akan mampu menyaksikan kejadian-kejadian spiritual itu kecuali setelah kematian mereka. Orang-orang yang telah mengalami kejadian spiritual akan mengetahui kesucian dan keagungan para wali. Mereka menyaksikan dari fajar subuh, ketika ribuan malaikat dan jiwa-jiwa suci menunggu para wali tersebut. Karena alasan inilah, orang-orang diam akan ragu-ragu –bukan menunggu untuk menghalangi pertemuan itu, atau mengganggu orang-orang yang mereka agungkan.

Setiap pagi, banyak budak yang datang di depan pintu istana sang raja. Masing-masing dari mereka mempunyai keadaan, tugas dan kesetiaan sendiri-sendiri. Di antara mereka ada yang melakukan tugas dari jauh dan Sang Raja tidak melihat maupun memperhatikan mereka. Semua budak tersebut mengetahui siapa di antara mereka yang mempunyai kehormatan karena kehadiran sang raja. Ketika sang raja pergi, para pelayan mendatangi budak itu dari setiap pintu di mana tidak ada jalan yang lebih leluasa lagi untuk melayani sang raja. Mereka lalu menemukan bahwa budak yang satu itu telah menyerap seluruh sikap dan prilaku raja sehingga dia menjadi pendengaran dan penglihatan raja kepada yang lain.

Keadaan ini benar-benar agung, sungguh tak bisa diungkapkan. Keagungannya sendiri tak dapat dijelaskan dalam kata k-e-a-g-u-n-g-a-n. Bahkan jika setitik dari keagungan itu dipercikkan ke dunia ini, hurup K tak akan dapat dituliskan, bunyi K tak akan bisa diucapkan dan bahkan tak akan ada tanda dan simbol yang tersisa. Seluruh kota akan hancur oleh cahaya keagungan itu.
“Para raja, ketika mereka memasuki sebuah kota, hancurkanlah kota itu.”
Seekor unta memasuki sebuah rumah dan rumah itu diruntuhkan, tetapi di dalam reruntuhan itu tersimpan ribuan harta karun.

Hanya di dalam reruntuhanlah harta karun akan ditemukan
Di kota yang maju sekalipun, anjing pemburu tetaplah anjing pemburu

Jika saya telah menjelaskan dengan panjang lebar keadaan para pencari, lalu bagaimana saya akan menjelaskan keadaan orang-orang yang telah menemukan apa yang mereka cari? Mereka tidak mempunyai batas lagi – hanya para pencarilah yang memiliki batas itu. Ujung jalan dari semua pencari adalah pencapaian. Apakah yang mungkin menjadi batas lagi bagi orang-orang telah mencapai penyatuan (dengan Tuhan), sebuah penyatuan tanpa pemisahan? Tak akan ada gandum yang matang yang kembali menjadi gandum muda. Tak akan ada buah yang masak yang kembali menjadi mentah.

Sungguh, tak semestinya dikatakan
Tentang masalah ini kepada laki-laki dan perempuan.
Tetapi sekali NamaMu itu diucapkan, Oh Tuhan,
Maka kata-kata ini akan sampai kepada mereka.
Demi Tuhan, Aku tak akan memperpanjangnya, aku akan memendekkannya.
Hidupku telah aku habiskan, tetapi Engkau mengembalikan
hidup itu menjadi anggur.
Engkau katakan bahwa semuanya telah diserahkan,
tetapi (Engkau) mengambil Jiwa ini sebagai milikMu

Siapapun yang memenggal cerita ini dan memendekkannya, maka dia seolah-olah telah menyimpangkan jalan yang benar lalu menempuh jalan hutan belantara yang menghancurkan kehidupan, dan kemudian mereka berkata, “pohon-pohon ini sepertinya jalan yang membawa kita pulang.”
→ Readmore...

Rumi: Kumpulan Ceramah 2

Bagi kita, lebih baik tidak mempertanyakan apa yang telah disampaikan oleh para sufi, apalagi jika pertanyaan itu mengharuskan mereka melakukan kebohongan (hanya untuk meyakinkan kita dengan bahasa kita sendiri meskipun penjelasan itu bukanlah hakikat jawaban yang semestinya). Tapi jika seorang yang berfaham kebendaan bertanya kepada seorang sufi, maka sufi tersebut harus memberikan jawaban. Tetapi bagaimana mungkin para sufi itu akan dipercaya oleh orang-orang yang tidak memiliki pengertian?. Mulut dan bibir orang-orang yang berfaham kebendaan itu tidak akan mampu menerima kepingan pengetahuan (dari para sufi) yang sangat dalam itu. Oleh karena itu, para sufi harus memberikan jawaban yang sesuai dengan kapasitas dan pengalaman sang penanya, bahkan meskipun misalnya dengan jawaban yang menyuruh sang penanya tersebut harus pergi.
Meskipun apa yang disampaikan oleh para sufi itu adalah kebenaran dan tidak mengandung kebohongan, namun yang paling penting adalah bahwa apa dikatakan oleh seorang sufi mempunyai cakupan makna yang lebih luas. Jika hal ini diragukan, apakah jawaban yang lebih mendekati kebenaran itu (pasti) lebih baik? Kadang, kebohongan para sufi adalah kebaikan bagi orang-orang yang menganut faham kebendaan, bahkan lebih dari kebenaran itu sendiri.
Seorang darwish mempunyai seorang murid yang selalu melayaninya. Suatu hari, mereka mendapatkan reski yang lain dari biasanya dimana murid tersebut membawakan beberapa jenis makanan kepada guru mereka. Darwish kemudian menikmati makanan itu. Dan pada malam harinya, darwish tersebut mengalami mimpi basah.
“Dari mana kamu mendapatkan makanan itu” beliau bertanya kepada muridnya.
“Saya diberi oleh seorang gadis yang sangat cantik” jawab sang murid.
“Masya Allah,” kata darwish itu, “sudah dua puluh tahun saya tidak pernah mengalami mimpi basah seperti tadi malam. Mimpi itu terjadi pasti karena pengaruh makanan pemberian gadis itu.”
Cerita ini menunjukkan bahwa para darwish sangat berhati-hati, mereka tidak boleh memakan setiap pemberian orang lain. Mereka sangat peka. Segala sesuatu pasti mempengaruhi mereka (secara langsung) dan hal-hal yang ghaib akan langsung nampak bagi mereka. Penampakan ini seumpama sebuah noda hitam yang kecil pada selembar kain putih. Akan tetapi, kain yang hitam karena noda yang telah melekat sekian tahun, tetap akan sama hitamnya meskipun masih ditumpahi bermacam-macam jenis noda yang lain.
→ Readmore...

Rumi: Kumpulan Ceramah 1

Rumi berkata: Setiap hari dan malam kalian selalu dalam peperangan, sebuah usaha untuk memperbaiki sifat dan prilaku lawan jenis kalian, membersihkan dan mensucikan mereka, dan memperbaiki mereka atas kesalahan-kesalahan yang dilakukannya. Jika kalian membantu mereka untuk mensucikan dirinya, justru bagimu itu merupakan jalan yang lebih baik untuk mensucikan diri kalian sendiri. Perbaikilah diri kalian melalui mereka. Temuilah mereka dan terimalah apapun yang mereka katakan, meskipun dalam pandanganmu apa yang mereka katakan itu adalah sesuatu yang tidak masuk akal.
Sehubungan dengan kebenaran yang saya sampaikan dalam hal ini, Rasulullah Saww pernah bersabda, “Tidak ada kerahiban di dalam Islam.” Jalan yang ditempuh oleh para rahib adalah dengan mencari kesunyian, memisahkan diri mereka dari orang banyak, mereka tinggal di gunung-gunung, dari kalangan mereka laki-laki tidak pernah hidup bersama dengan perempuan, mereka meninggalkan dunia ini. Allah telah menunjukkan kepada Rasulullah Saww jalan yang nyata dan tersembunyi. Jalan apakah itu? Itulah pernikahan, sehingga dengan institusi ini kita dapat menghindarkan diri dari godaan-godaan lawan jenis, mendengarkan keinginan-keinginan mereka, meskipun mungkin mereka memperlakukan kita dengan cara yang kasar, tetapi justru dengan cara inilah kita akan menemukan jalan yang lebih baik untuk memperbaiki sikap dan prilaku kita sendiri.
Dengan bersabar dan pasrah dengan perlakuan yang tidak mengenakkan dari istri atau suami kalian, itu sama dengan membersihkan kekotoran-kekotoran kalian melalui mereka. Akhlak dan prilaku kalian akan menjadi lebih baik melalui anak cucu kalian, sementara akhlak dan prilaku mereka akan semakin buruk karena dominasi dan penguasaannya. Sekali saja kalian memahami dan menyadari hal ini, hal itu akan membersihkan diri kalian. Ketahuilah bahwa mereka adalah ibarat pakaian, dengan mereka kalian dapat melindungi diri dari kekotoran, membersihkan kotoran itu, dan kemudian membersihkan diri kalian sendiri.
Jauhkanlah diri kalian dari kesombongan, iri hati dan kecemburuan sampai kalian merasakan kenikmatan dalam kesabaran dan kepasrahan. Temukanlah kenikmatan spiritual dengan (memenuhi) keinginan-keinginan mereka. Setelah itu, kalian akan lebih kuat dan lebih sabar untuk menghadapai perjuangan yang sama, tak akan pernah kalah oleh dominasi dan tekanan, dan akhirnya kalian akan merasakan keberuntungan yang dibawa oleh mereka.
Telah diriwayatkan bahwa Rasulullah Muhammad Saww bersama sahabatnya suatu malam pulang dari suatu penyerangan. Beliau menyuruh salah seorang menabuh gendang dan setelah itu beliau menyampaikan pesan, “Malam ini kita akan bermalam di pintu gerbang kota, Insya Allah besok kita baru memasuki kota.” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, mengapa kita tidak langsung ke rumah saja?” Rasulullah menjawab, “kalian mungkin akan melihat istri-istri kalian tidur dengan laki-laki yang lain. Kalian pasti akan sangat kecewa, dan saya khawatir akan terjadi keributan.” Salah seorang sahabat tidak mendengar perintah Rasulullah tersebut, ketika dia pulang ke rumah, dia benar-benar melihat istrinya tidur dengan seorang laki-laki.
Maksud Rasulullah Saww adalah: sangat penting bagi kita untuk bersabar dengan menahan rasa sakit dan kekecewaan untuk membantu kita menghilangkan rasa keakuan, kecemburuan dan kesombongan. Dengan mengalami ketidaktenangan karena keinginan-keinginan seorang istri (atau suami) yang terlalu berlebihan, beban dan ketidakadilan yang terlalu banyak, dan bahkan ratusan ribu penderitaan yang lain, maka jalan spiritual akan semakin terang. Jalan yang ditempuh oleh Yesus adalah kesunyian dan menghindari keinginan biologis. Sedangkan jalan yang ditempuh Muhammad adalah memikul beban penderitaan yang diakibatkan oleh laki-laki dan perempuan satu sama lain. Jika kalian tidak bisa menempuh jalan yang dilalui oleh Muhammad Saww, setidaknya berjalanlah dengan jalan yang telah dilalui oleh Yesus, sehingga kalian tidak pernah benar-benar di luar lintasan di jalan spiritual itu.
Jika kalian mempunyai kekuatan untuk memikul seratus bufet, sambil melihat buah-buahan dan hasil panenan yang ada di dalamnya, atau percaya di dalam hati kecilmu, “meskipun saat ini saya tidak melihat hasil panenan, tapi pada akhirnya saya akan mencapai hasil yang lebih baik,” maka kalian akan mendapatkan harta yang berlimpah itu, bahkan lebih dari apa yang pernah kalian inginkan dan harapkan.
Jika kata-kata yang telah saya sampaikan ini tidak memberikan pengaruh apa-apa kepada kalian saat ini, maka pengaruhnya akan kalian rasakan setelah kalian berpikir lebih dewasa. Inilah perbedaan antara berbicara kepada suami atau istri dengan berbicara kepada teman. Ketika kalian berbicara kepada teman, mereka akan tetap menjaga dan tidak merubah apa yang telah kalian ucapkan. Kata-kata kalian tidak mempengaruhi mereka, bahkan mereka menjadi lebih jelas terhadap apa yang akan mereka lakukan.
Sebagai contoh, ambillah roti lembaran, sembunyikanlah di bawah lenganmu, dan janganlah sampai ada orang yang melihatnya, lalu katakan, “Saya tidak akan memberikan benda yang saya sembunyikan ini kepada orang lain. Untuk apa? Bahkan sayapun tidak akan memperlihatkannya.” Meskipun jika roti itu sudah tidak ada lagi dan bahkan anjingpun tak mau memakannya karena sangat kecil dan sangat murahnya –tetapi ketika kamu akan membuangnya, semua orang akan mengambilnya sambil berkata, “Kami ingin melihat roti yang telah kamu sembunyikan kemudian kamu buang itu.” Apalagi jika roti itu kamu telah simpan sekian tahun dengan ketidakkeinginan untuk memperlihatkannya maupun memberikannya kepada orang lain, keingintahuan mereka terhadap roti itu akan semakin besar karena, “Setiap orang akan sangat penasaran terhadap apa yang disembunyikan terhadap mereka.”
Semakin banyak kalian katakan kepada istri-istri kalian, “jagalah hijabmu,” semakin menggoda rasa keingintahuannya untuk bermain-main dan mempertunjukkan dirinya. Dan meskipun mereka tetap menjaga hijabnya, justru akan semakin banyak laki-laki yang penasaran untuk melihatnya. Oleh karena itu, kalian sebenarnya sedang berdiri di tengah-tengah mereka menganggap diri seorang pembaharu! Mengapa, karena itulah hal yang paling inti dari sebuah perubahan. Jika mereka mempunyai potensi alamiah untuk tidak melakukan keburukan, apakah kalian mencegahnya atau tidak, mereka akan tetap berperilaku dengan baik sesuai dengan tabiat alamiahnya itu. Karenanya beristrirahatlah dengan tenang, dan janganlah mengkhawatirkan mereka. Tetapi jika mereka justru sebaliknya, mereka akan tetap melakukan jalan yang mereka pilih sendiri; jika kalian mencoba melarangnya, justru pelarangan itu akan membuatnya semakin menjadi-jadi.
Seseorang berkata: “Kami mendengar banyak orang yang mengatakan, ‘Kami melihat Syams-i-Tabriz, kami sungguh-sungguh melihatnya.’”
Rumi menjawab: Itu tidak benar, dimana mereka melihatnya? Akankah kalian akan mendengarkan seseorang yang tidak bisa melihat seekor onta bahkan di atas atap rumahnya sendiri, apakah kalian akan mempercayainya jika mereka datang dan berkata, “saya menemukan sebuah jarum di jalan kemudian memasanginya dengan benang.” Itu cerita yang lucu, seperti halnya cerita seseorang yang mengatakan, “ada dua hal yang membuat saya tertawa – pertama orang yang berkulit hitam kemudian mengecat kukunya dengan warna hitam pula, dan kedua adalah orang buta yang menjulurkan kepalanya ke luar jendela.” Mereka persis seperti itu. Batin mereka buta, lalu mereka menjulurkan kepalanya ke luar jendela jasad pisiknya. Apa yang dapat mereka lihat? Apakah manfaat persetujuan maupun penolakan mereka?
Pertama-tama, yang paling penting kita miliki adalah penglihatan batin. Dengan itu seseorang akan dapat melihat dengan baik. Tetapi meskipun dengan penglihatan itu, bagaimana mungkin seseorang dapat melihat sesuatu yang tersembunyi? Di dunia ini banyak orang-orang suci yang telah mencapai penyatuan bahkan ada yang lebih dari itu, merekalah yang disebut Orang-orang Yang Dihijabi oleh Tuhan. Golongan yang pertama inilah yang meminta kepada Allah, “Ya Tuhan, tampakkanlah kepada kami Orang-orang Yang Engkau Hijabi itu.” Sekarang, bagi pembual kedai minuman yang ramai dikunjungi, mereka tidak mungkin dapat menemukan atau melihat apa-apa yang tersembunyi dalam bualan mulut besar mereka. Bagaimana mungkin seseorang dapat melihat Orang-orang Yang Dihijabi oleh Allah, bagaimana mungkin mereka mengetahuinya tanpa perkenan orang-orang suci itu?
Masalah ini bukanlah sesuatu yang mudah. Bahkan para malaikat, yang ruhnya tidak pernah tergoda oleh kekayaan dan kedudukan, yang diantara mereka disingkapkan hijab satu sama lain, yang makanannya adalah Cahaya Suci dan KemahaIndahan wajah Tuhan, yang mempunyai pandangan –tajam dan tembus jauh – hanya melihat Cinta yang Sejati, malaikat-malaikat spiritual itu terombang-ambing di antara kebaikan dan keburukan manusia di bumi ini. Oleh karena itu, di dalam kegundahan, kita mungkin resah dan bertanya-tanya, “Apa yang telah terjadi dengan diri saya ini? Apa yang saya ketahui?” Dan jika berkas cahaya itu telah dipancarkan kepada kita dan karnanya kita merasakan kenikmatan yang berlipat ganda, semestinya kita harus menunjukkan kesyukuran kepada Allah dengan sebuah pujian, “betapa dimuliakannya saya dengan karunia ini?”
Bawalah diri kalian ke jalan ini, dengan itu kalian akan merasakan kenikmatan meskipun hanya dari sepatah kata atau sekilas tatapan dari Syams. Tujuan kita adalah bagaimana mengarahkan kapal eksistensi kita yang sedang berlayar ke pusat tujuan itu. Jika kita siap dengan bentangan layar, anginpun akan mengantarkan kita ke tempat yang agung. Namun jika layar tidak kita siapkan, maka seluruh ucapan dan kata-kata yang kita dengar tak lebih dari angin yang bertiup dan berlalu begitu saja.
Hubungan antara sang pencinta dan sang kekasih adalah kebahagiaan hakiki; apapun di antara mereka hanyalah ketidakformalan semata. Semua keformalan itu adalah untuk orang lain, bukan untuk mereka berdua. Saya sebenarnya ingin memberikan penjelasan yang lebih rinci tentang kata-kata ini, namun waktu rasanya tidak cukup, sementara setiap orang harus menghabiskan waktunya untuk bekerja keras keluar dari sungai untuk mencapai telaga hati. Dalam hal ini, bukti-bukti tidak bisa memberikan penjelasan apa-apa. Di sini, setiap orang harus menjadi seorang pencari Cinta, bukan hanya seorang yang memperhatikan Cinta itu dari jarak yang jauh.
Mungkin saya kelihatan terlalu membesar-besarkan hubungan antara pencinta dan kekasih ini, tapi itu tidak benar. Kenyataannya, saya melihat banyak murid yang harus mengorbankan seluruh keinginannya demi kebaikan guru mereka.

Wahai Engkau yang mempunyai bentuk,
Yang jauh lebih indah dari seribu tujuan.

Setiap murid semestinya meninggalkan keinginannya sendiri ketika mereka menemui seorang guru. Mereka harus melarutkan keinginan itu di dalam kepentingan gurunya.
Baha al-Din bertanya: “Apakah memang mereka semestinya meninggalkan tujuannya demi kebaikan gurunya dan bukan demi tujuan gurunya?”
Rumi menjawab: Itu tidak mungkin. Jika memang demikian halnya, maka keduanya adalah guru. Sekarang kamu harus berjuang untuk menemukan cahaya batin agar dapat keluar dan merasa aman dari kobaran api kebingungan. Jika suatu saat kamu telah menemukan cahaya batin itu, maka seluruh keinginan-keinginan duniawi seperti kedudukan, martabat, dan gelar kehormatan, akan melintas dalam hatimu seperti kibasan halilintar. Karena ambisi-ambisi duniawi, ganjaran yang turun dari dunia yang tak terlihat seperti kehadiran Tuhan dan kerinduan kepada dunia orang-orang suci hanya akan melintas ke dalam hati mereka sekejap saja, seperti laiknya kibasan cahaya kilat yang menyambar dilangit. Oleh karena itu, mereka sebenarnya hanya mencari kedudukan, martabat dan gelar kehormatan saja. Namun, hamba-hamba sejati Tuhan akan benar-benar menyatu denganNya, menjadi milikNya, wajah-wajah mereka dihadapkan hanya kepada Tuhan. Mereka berasyik masyuk bersama Tuhan, larut dalam kebersamaan denganNya. Keinginan duniawi tak lebih dari hasrat seorang laki-laki yang lemah syahwat, dia merasakan hasrat itu hanya sesaat namun secepat itupun hasratnya akan menghilang.

















Ceramah 19

Rumi mengatakan: Seseorang berkata kepada Taj al-Din Quba’I, “Banyak pakar ilmu kalam hidup di tengah-tengah kita dan mereka mengeluarkan banyak orang dari keyakinan dan agamanya.” Taj al-Din Quba’I menjawab, “Mereka tidak hidup di tengah-tengah kita dan mereka tidak mengeluarkan kita dari keyakinan yang kita anut. Allah melindungi kita dari mereka. Jika kamu memberikan ban leher yang terbuat dari emas pada seekor anjing, apakah anjing itu kamu sebut anjing pemburu hanya karena emas itu? Kualitas seekor anjing sehingga bisa disebut anjing pemburu adalah kualitas khusus pada binatang itu, bukan ditentukan dari apakah emas atau wool yang dikenakan di lehernya.”
Tidak ada seorangpun yang menjadi pintar karena jubah atau surban yang dikenakannya. Kecerdasan adalah suatu kualitas esensial. Meskipun kecerdasan itu diselimuti dengan jubah maupun mantel biasa, ia adalah tetap sebuah kualitas yang tidak terpengaruh oleh sifat apapun yang menyelimutinya.
Oleh karena itu, pada zaman Rasulullah saww, orang-orang munafik sering menggunakan pakaian yang dipakai saat sholat, agar mereka dapat menarik kamu muslimin keluar dari agamanya. Bagaimana mungkin mereka dapat menyesatkan kaum muslimin jika mereka tidak menggunakan pakaian yang sama yang dikenakan oleh kaum muslimin? Jika hanya kaum Yahudi dan Nasrani yang mengkritik Islam, siapa yang ingin mendengarkan mereka?

“Terkutuklah orang-orang yang melaksanakan shalat,
Tetapi mereka lalai dari shalatnya.
Atau mereka yang mempunyai reski,
Tetapi mereka tidak memperdulikan fakir miskin.”

Tetapi ini hanyalah kata-kata belaka. Kalian telah menyaksikan Sang Cahaya namun masih belum menemukan hakikat kemanusiaan. Carilah nilai esensi kemanusiaan itu: itulah tujuanmu yang sebenarnya. Sisanya hanyalah sesak nafas yang panjang. Jika kata-kata telah dibumbui dengan sempurna, tujuannya pun akan dilupakan.
Seorang penjual kacang jatuh cinta kepada seorang perempuan, iapun lalu mengirim pesannya melalui pembantu perempuan itu.
“Pada dirinya saya sangat menyenangi ini, di wajahnya saya sangat menyukai itu. Saya benar-benar jatuh cinta, dada saya terbakar oleh kecantikannya. Karenanya saya tidak bisa menemukan ketenangan, saya sungguh gila karena pesonanya. Saya selalu merasakan siksaan ini, juga kemarin. Tadi malam, banyak hal yang terjadi saya.” Dia mengulang kata-kata ini berkali-kali, panjang sekali.
Lalu pembantu itu menemui majikannya, dia menyampaikan pesan penjual kacang itu, “Penjual kacang mengirimi anda ucapan salam, dia juga mengatakan kepada anda, ‘Datanglah, dengan itu saya dapat melakukan ini dan itu bersamamu.’”
“Dia hanya mengatakan kalimat yang singkat dan lugu itu?” perempuan itu bertanya. “Dia sebenarnya menyampaikan pesan yang sangat panjang,” jawab pembantunya, “Tetapi maksudnya seperti yang saya katakan tadi.”
Tujuan adalah akar segala sesuatu, sisanya tak lebih dari sakit kepala saja.
→ Readmore...

Ali bin Abi Thalib; Penghulu Para Sufi

KH. Dr. Jalaluddin Rakhmat

Pengantar Redaksi: Tulisan ini diturunkan berkaitan dengan kelahiran Amirul Mukminin; Imam Ali bin Abi Thalib kw, tanggal 13 di bulan Rajab.

Di antara sekian banyak sahabat Nabi, hanya Ali bin Abi Thalib-lah yang diberikan sebutan karamallahu wajhah; sebuah sebutan yang juga berarti doa “Semoga Allah memuliakan wajahnya” atau “Allah telah memuliakan wajahnya.” Semua ulama sepakat bahwa doa itu hanya dikhususkan untuk Imam Ali saja seperti halnya sebutan shalallahu ‘alaihi wa alihi wassalam untuk Nabi Muhammad.

Ada beberapa riwayat yang menjelaskan hal ini. Salah satu riwayat di antaranya menjelaskan alasan tentang doa itu. Pertama, di antara semua sahabat Nabi saw, hanya Ali bin Abi Thalib yang tidak pernah menyembah berhala. Dia masuk Islam dalam usia yang masih kecil sehingga tak sempat beribadat kepada berhala. Artinya, wajahnya tak pernah disujudkan kepada berhala. Ali kecil langsung sujud kepada Allah swt.

Alasan kedua, Imam Ali adalah orang yang dikenal tak pernah melihat aurat, baik aurat dirinya sendiri maupun aurat orang lain. Konon, dalam sebuah pertemuan di Shiffin, pasukan Imam Ali bertemu dengan pasukan Muawiyah. Sebelum perang berkecamuk, biasanya diadakan mubarazah atau duel antara dua orang yang mewakili pasukan yang akan bertempur. Imam Ali menantang Muawiyah ber-mubarazah namun Muawiyah tak berani dan Amr bin Ash menggantikannya. Dalam duel itu, Amr terdesak dan mengalami kekalahan. Ketika Imam Ali hendak memukulkan pedangnya ke kepala Amr, Amr lalu membuka auratnya sehingga Imam Ali segera berbalik memalingkan wajahnya dan meninggalkan Amr. Karena Imam Ali tak mau melihat aurat, selamatlah Amr.

Semasa hidupnya, Imam Ali dikenal sebagai seorang pria yang gagah dan tampan. Banyak hadis yang meriwayatkan Imam Ali memiliki kepala yang agak botak sehingga orang yang tak senang pada Imam Ali memberikan julukan ashla yang berarti “Si Botak”. Umar bin Khattab pernah berkata, “Sekiranya tak ada si ashla, celakalah Umar!”
Ketika banyak sahabat lain mengecam Imam Ali dengan memberikan julukan ashla, Rasulullah saw berkata, “Janganlah kalian mengecam Ali karena ia sudah tenggelam dalam kecintaan kepada Allah.”

Imam Ali sering menjadi fana atau larut dalam kecintaannya kepada Allah. Pernah suatu hari, Abu Darda menemukan Ali terbujur kaku di atas tanah seperti sebongkah kayu di sebuah kebun kurma milik seorang penduduk Mekkah. Dengan tergopoh-gopoh, Abu Darda mendatangi Fathimah untuk berbelasungkawa, karena ia mengira Ali telah meninggal dunia. Fathimah hanya berkata, “Sepupuku, Ali, tidak mati melainkan ia pingsan karena fana dalam ketakutannya kepada Allah. Ketahuilah, kejadian itu sering menimpanya.”

Bagi Imam Ali, salat juga tidak merupakan peristiwa biasa. Baginya, salat adalah pertemuan agung dengan Allah swt. Imam Al-Ghazali mengisahkan hal ini dalam kitab Ihya Ulumuddin: Suatu hari, menjelang waktu salat, seorang sahabat menemukan Imam Ali dalam keadaan tubuh yang berguncang dan wajah yang pucat pasi. Ia bertanya, “Apa yang telah terjadi, wahai Amirul Mukminin?” Imam Ali menjawab, “Telah datang waktu salat. Inilah amanat yang pernah diberikan Allah kepada langit, bumi, dan gunung tetapi mereka menolak untuk memikulnya dan berguncang dahsyat karenanya. Sekarang, aku harus memikulnya.” Dengan sikapnya itu, Imam Ali ingin mengajarkan sahabatnya bahwa salat bukanlah kejadian biasa. Salat adalah amanat yang di dalamnya mengandung perjanjian mulia antara seorang hamba dengan Tuhannya. Alangkah anehnya bila kita masih belum merasakan kekhusyukan itu di dalam salat kita. Tuhan berfirman, “Sungguh beruntung orang-orang mukmin itu; yaitu mereka yang khusyuk di dalam salatnya.” (QS. Al-Mukminun; 1)

Imam Ali juga dikenal karena salatnya yang khusyuk. Banyak sahabat yang memuji salat Ali sebagai salat yang mirip dengan salat Rasulullah saw. Puluhan tahun sejak kematian Rasulullah, seorang sahabat bernama ‘Umran bin Husain, salat di belakang Imam Ali di Basrah. ‘Umran berkata, “Lelaki itu mengingatkan aku pada salat yang dilakukan Rasulullah saw.” ‘Umran terkesan akan salat Ali bukan karena gerakan-gerakan lahiriahnya melainkan karena kekhusyukannya.

Ibn Abi Al-Hadid, seorang tokoh Muktazilah, bercerita tentang ibadat Imam Ali. Ia menyebutkan Ali sebagai orang yang paling taat beribadat dan yang paling banyak salat dan puasanya sehingga dari Ali-lah orang banyak belajar tentang salat malam. Selain itu, Ali senantiasa melazimkan wirid dan menunaikan ibadat-ibadat nafilah. “Dalam Perang Shiffin,” Al-Hadid bercerita, “di tengah-tengah perang yang berkecamuk, Ali masih mendirikan salat. Sesudah salat, ia membaca wirid. Dalam kesibukan perangnya, ia tak meninggalkan wiridnya padahal anak panah melintas di antara kedua belah tangan dan di antara kedua daun telinganya.”

Banyak hadis meriwayatkan kehidupan Imam Ali yang teramat sederhana. Ali bekerja keras membanting tulang untuk nafkah keluarganya. Istrinya, Fathimah, setiap hari menggiling gandum sampai melepuh tangannya. Suatu saat, setelah memenangkan sebuah peperangan, kaum muslimin memiliki banyak tawanan perang. Fathimah berkata pada Ali, “Bagaimana jika kita meminta salah seorang tawanan kepada Rasulullah untuk menjadi pembantu kita?” Imam Ali enggan menyampaikan permohonan ini pada Rasulullah karena merasa sangat malu. Ia meminta Fathimahlah yang memintakan hal itu.

Pergilah Fathimah menemui Rasulullah saw. Begitu ia berada di hadapan Nabi yang mulia, Fathimah tak kuasa menyampaikan maksudnya. Ia pulang lagi ke rumahnya. Imam Ali lalu pergi untuk menyampaikan hal itu dan ia pun tak kuasa mengutarakan keinginan itu dan kembali lagi. Akhirnya keduanya memutuskan untuk pergi bersama-sama ke tempat Rasulullah. Disampaikanlah hajat itu tapi Rasulullah tak menjawab permintaan mereka. Keduanya pulang dengan perasaan malu dan takut akan kemurkaan Rasulullah.

Malam harinya Nabi datang ke rumah Ali. Nabi menyaksikan Ali hanya berselimutkan sarung yang amat pendek padahal malam teramat dingin. Jika selimut itu ditarik ke atas, terbukalah bagian bawah dan jika selimut itu ditarik ke bawah, terbukalah bagian atas. Rasulullah terharu melihat kesederhanaan Ali. Ia berkata kepada keluarga mulia itu, “Maukah kalian aku berikan pembantu yang lebih baik dari seluruh isi langit dan bumi?”
Rasulullah saw kemudian memberikan wirid untuk dibacakan oleh keluarganya itu seusai salat. Wirid itu berisi 33 kali tasbih, tahmid, dan takbir. Begitu setianya Imam Ali dengan wiridnya itu, ia tak pernah meninggalkannya bahkan saat perang sekali pun. Ia melazimkannya dalam setiap keadaan.

Di masa kekuasaan Muawiyah, karena kebencian Muawiyah pada Imam Ali, para khatib Jumat diperintahkan untuk mengakhiri setiap khutbahnya dengan kecaman kepada Ali. Cacian dan makian ini berlangsung selama hampir puluhan tahun. Ketika Umar bin Abdul Aziz berkuasa, perintah ini dihapuskan. Namun meskipun Muawiyah begitu membenci Ali, ia harus mengakui keutamaan sifat-sifat Ali.

Suatu saat, Darar bin Dhamrah Al-Khazani diminta Muawiyah untuk bercerita tentang Imam Ali kw. Ia tak mau memenuhi permintaan itu. Ia takut, bila ia menceritakan keadaan Ali apa adanya, ia akan dianggap sebagai orang yang mengutamakan Ali, dan ia akan dihukum. Oleh sebab itu Darar hanya berkata, “Ampunilah aku, wahai Amirul Mukminin! Jangan perintahkan aku untuk mengungkapkan hal itu. Perintahkan aku untuk melakukan hal lain saja.” “Tidak,” ujar Muawiyah, “aku takkan mengampunimu.”

Akhirnya Darar bercerita tentang Ali dalam bahasa Arab yang teramat indah. Terjemahannya sebagai berikut:
“Ali adalah seorang yang cerdik cendekia dan gagah perkasa. Ia berbicara dengan jernih dan menghukum dengan adil. Ilmu memancar dari kedalaman dirinya dan hikmah keluar dari sela-sela ucapannya. Ia mengasingkan diri dari dunia dengan segala keindahannya untuk kemudian bertemankan malam dengan seluruh kegelapannya, di sisi Allah. Air matanya senantiasa mengalir dan hatinya selalu tenggelam dalam pikiran. Ia sering membolak-balikkan tangannya dan berdialog dengan dirinya. Ia senang dengan pakaian yang sederhana dan makanan yang keras.”
“Demi Allah, ia dekat kepada kami dan kami senang berdekatan dengannya. Ia menjawab bila kami bertanya. Namun betapa pun ia dekat dengan kami, kami tak sanggup menegurnya karena kewibawaannya. Jika tersenyum, giginya tampak bagai untaian mutiara. Ia memuliakan para ahli agama dan mencintai orang miskin. Orang kuat tak berdaya di hadapannya karena keadilannya sementara orang yang lemah tak putus asa di sisinya.”
“Aku bersaksi demi Allah, aku sering melihatnya berada di mihrab pada sebagian tempat ibadatnya. Malam telah menurunkan tirainya dan gemintang tak tenggelam, saat itu ia memegang janggutnya dan merintih dengan rintihan orang yang sakit. Ia menangis dengan tangisan orang yang menderita. Seakan-akan kudengar jeritannya Ya Rabbana, ya Rabbana.....”
“Ia menggigil di hadapan kekasihnya. Kepada dunia, ia berkata: Kepadaku kau datang mencumbu. Kepadaku kau merayu. Enyahlah dan pergi! Tipulah orang selain aku. Aku telah menjatuhkan talak tiga kepadamu. Usiamu pendek, posisimu rendah. Betapa sedikitnya bekal dan betapa jauhnya perjalanan, dan betapa sepinya perantauan.”

Muawiyah mendengar Darar yang bercerita dengan penuh perasaan. Meskipun ia amat membenci Ali, tapi ia tak kuasa menahan tangisan begitu mendengar penuturan Darar. Pada kesempatan lain, Darar pernah ditanya, “Bagaimana kerinduanmu kepada Ali?” Darar menjawab, “Aku rindu kepadanya seperti kerinduan seorang perempuan yang kekasihnya disembelih di pangkuannya. Air matanya takkan pernah kering, dukanya panjang dan takkan pernah usai.”

Imam Ali selalu mengisi malamnya dengan tangisan dan orang-orang yang mengenalnya akan mengisi kisah Ali dengan tangisan pula.

Dalam tasawuf, menangis termasuk salah satu hal yang harus dilatih. Imam Ali berkata, “Salah satu ciri orang yang celaka adalah ia yang memiliki hati yang keras. Dan ciri hati yang keras adalah hati yang sukar menangis.” Nabi saw bersabda, “Jika engkau membaca Al-Quran, menangislah. Jika tidak bisa, berusahalah agar engkau menangis.”

Pada salah satu doanya yang teramat indah, Imam Ali memohon:
“Tuhanku, berilah daku kesempurnaan ikatan kepada-Mu. Sinarilah bashirah hati kami dengan cahaya karena melihat-Mu sehingga kalbu kami menorehkan tirai cahaya dan sampailah ia pada sumber kebesaran; arwah kami terikat pada keagungan kesucian-Mu. Air mata tidak mengering kecuali karena hati yang keras dan hati takkan keras kecuali karena banyaknya doa.”

Wassalam
→ Readmore...

Berlarilah Menuju Allah

KH. Dr. Jalaluddin Rakhmat

Islam adalah agama yang melanjutkan tradisi Ibrahim as. Ibadat haji, misalnya, adalah salah satu contoh tradisi Ibrahim yang masih terus dilaksanakan. Demikian juga dengan ibadat kurban. Dalam ibadat salat, kita mengakhiri salat kita dengan membaca salawat kepada Ibrahim dan keluarganya, di samping kepada Muhammad saw dan keluarganya.

Al-Quran pun banyak menceritakan perjalanan kehidupan Ibrahim. Berkaitan dengan hal ini, Al-Quran mengisahkan saat Tuhan bertanya kepada Ibrahim: Fa ayna tadzhabun. Lalu, akan ke mana kamu pergi? (QS. Al-Takwir; 26) Al-Quran mengisahkan jawaban Ibrahim: Sesungguhnya aku pergi menghadap Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. (QS. Al-Shaffat; 99). Pertanyaan fa ayna tadzhabun, "Lalu ke mana kamu pergi?" juga dikenal dalam istilah Latin yang menyebutnya, "Quo Vadis?" Istilah Latin itu ditujukan untuk orang yang agak menyimpang atau aneh. Demikian pula dengan Al-Quran. Dengan itu Al-Quran bertanya kepada orang-orang yang jalannya melenceng; kepada mereka yang ada di persimpangan jalan. Pertanyaan itu mengandung arti apa sebenarnya tujuan akhir dari perjalanan hidup kita. Apakah itu berupa karir, kedudukan, kekayaan, atau kemasyhuran.

Seperti jawaban Ibrahim as, seorang sufi adalah ia yang telah mengambil keputusan bahwa perjalanannya adalah untuk menuju Tuhan. Dalam hidupnya, seorang sufi senantiasa pergi ke arah hadirat Tuhannya.

Allah menciptakan manusia dari tanah yang merupakan lambang dari kehinaan dan kekotoran. Al-Quran menyebutkannya sebagai nuthfah atau saripati tanah. Setelah proses penciptaan dari tanah itu, Allah menyatakan: Lalu aku tiupkan ke dalamnya ruh-Ku. (QS. Al-Hijr; 29).

Karena terbuat dari tanah, sifat kemanusiaan (basyariyyah) manusia menjadi selalu kotor. Seorang sufi ialah ia yang ingin menafikan kekotoran basyariyyah-nya, yakni seluruh sifat tanahnya, dan ingin menyerap unsur ruh Tuhan yang ditiupkan kepadanya. Ia meninggalkan sifat tanahnya untuk kemudian pergi dalam perjalanan menuju Allah. Perjalanan dari unsur tanah kepada unsur ruh Ilahiah itulah yang dikenal sebagai tasawuf.

Al-Quran senantiasa mengingatkan kita untuk mulai berangkat menuju Tuhan. Allah swt berfirman: Oleh karena itu, bersegeralah berlari kembali menuju Allah. (QS. Al-Dzariyat; 50). Al-Quran tidak hanya menyuruh kita untuk berjalan, tetapi ia bahkan memerintahkan kita berlari kepada-Nya. Hidup adalah terlalu singkat untuk diisi dengan pergi menuju Tuhan dengan cara berjalan. Kita harus berlari sebelum waktu kita di dunia habis dan berakhir.

Kita harus berlari dari segala yang menarik perhatian kita, menuju kepada satu, Allah swt. Sebuah hadis riwayat Ahmad dan Al-Thabrani berbunyi, "Barangsiapa yang mendekati Allah sesiku, Dia akan mendekatinya sehasta. Barangsiapa mendekati Allah sambil berjalan, Allah akan menyambutnya sambil berlari." Balasan dari Allah selalu lebih hebat dari apa yang kita lakukan. Dalam Al-Quran surat Luqman, ayat 15, Allah swt juga berfirman: Ikutilah jalan orang yang kembali pada-Ku. Kemudian, hanya kepada-Kulah kembalimu. Lalu Aku memberitahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
Nabi saw pernah bertanya kepada para sahabatnya, "Bagaimana keadaan kalian, seandainya di antara kalian suatu saat berada di padang pasir membawa perbekalan dan unta, lalu kalian tertidur; dan ketika bangun, kalian mendapati unta dan perbekalanmu hilang?" Para sahabat menjawab, "Tentu cemas sekali, ya Rasulallah!" Rasulullah melanjutkan, "Di saat kalian cemas, tiba-tiba kalian lihat unta itu kembali dari tempat jauh dan menghampiri kalian dengan membawa seluruh perbekalanmu. Apa perasaan kalian?" Para sahabat kembali menjawab, "Tentu kami akan bahagia sekali."

Nabi yang mulia lalu berkata, "Allah akan lebih bahagia lagi melihat hamba-Nya yang datang kepada-Nya daripada kebahagiaan seseorang yang kehilangan unta kemudian ia melihat untanya datang kembali kepadanya."

Berulang kali Allah mengingatkan kita untuk mengikuti jalan orang yang kembali padanya. Menurut para sufi, jalan yang dimaksud itu adalah jalan tasawuf. Karena para sufilah yang kembali kepada Allah. Salah satu jalan kepada Allah itu adalah dengan menyucikan diri -meninggalkan unsur tanah kita untuk menyerap sifat-sifat Allah.

Perjalanan menuju Tuhan harus dilakukan dengan menyucikan diri dan membersihkan hati. Hati kita sering terkotori dengan dosa yang kita lakukan. Dosa-dosa itu menghijab kita dari Tuhan. Mereka yang mampu berjumpa dengan Tuhan adalah mereka yang membawa hati yang bersih; bukan yang membawa harta dan anak-anaknya.

Dalam bahasa Arab, kata tazakka yang berarti menyucikan diri, juga berarti "tumbuh". Oleh karena itu, di dalam Islam, pertumbuhan seseorang diukur dari tingkat kesucian dirinya. Semakin suci dan bersih seseorang, semakin tinggi pulalah derajatnya.

Psikologi Humanistik juga mengenal hal ini. Abraham Maslow menyebut puncak pertumbuhan manusia adalah pertumbuhan kepribadiannya. Ia menamakannya dengan aktualisasi diri atau self actualization. Islam menyebutnya tazakka.

Upaya kita menyucikan diri harus kita iringi dengan proses meninggalkan rumah kita. Allah swt berfirman: Barangsiapa yang keluar dari rumahnya dengan maksud untuk berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, lalu kematian menjemputnya, maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah....(QS. Al-Nisa; 100).

Biasanya orang menafsirkan ayat ini secara harfiah; dengan mengartikannya sebagai orang yang pergi meninggalkan Mekkah menuju Madinah dalam peristiwa Hijrah. Para sufi menafsirkan kata "rumah" dalam ayat itu sebagai diri, egoisme, atau keakuan kita.

Kita selalu berpikir akan kepentingan pribadi semata. Bila kita beribadat, itu pun dilakukan dalam konteks kepentingan diri kita. Kita bersedekah untuk menolak bencana demi keselamatan diri kita. Kita menunaikan salat agar terhindar dari neraka dan mengharapkan pahala. Kita sering beribadat dengan ibadat para pedagang. Kita menjual ibadat kita untuk ditukar dengan pahala. Dalam ibadat, kita mengutamakan kepentingan pribadi kita.

Hal ini berbeda dengan para sufi. Mereka berupaya keluar dari "rumah" mereka. Mereka beribadat bukan karena mengharap pahala tetapi karena rasa terima kasih kepada-Nya. Mreka merasa berutang budi atas segala anugrah Allah kepada mereka. Itulah ibadat yang sesungguhnya. Hubungan sufi dengan Tuhannya bukanlah hubungan bisnis, melainkan hubungan cinta.

Al-Quran menyebut orang yang beribadat kepada Tuhan tanpa meninggalkan dirinya -karena terlalu cinta akan dirinya, sebagai orang yang telah mengambil tuhan selain Allah. Ia mencintai dirinya lebih dari ia mencintai Tuhan. Allah swt berfirman: Di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sama seperti mereka mencintai Allah. Sementara orang-orang yang beriman sangat mencintai Allah. (QS. Al-Baqarah; 165)

Tulisan ini diawali dengan kisah Ibrahim dan ditutup dengan kisah Ibrahim pula. Syahdan, Ibrahim as akan meninggal dunia. Malaikat Izrail datang untuk mencabut nyawanya. Ibrahim berkata kepadanya, "Mana mungkin sang Khaliq mematikan kekasih-Nya?" Ibrahim seakan menggugat mengapa seorang pencinta mematikan pencintanya. Allah lalu menjawab, "Bagaimana mungkin seorang kekasih tak mau berjumpa dengan kekasihnya?" Mendengar jawaban agung itu, Ibrahim berkata, "Kalau begitu, ambillah nyawaku sekarang juga."

Dalam sebuah hadis qudsi, Tuhan melukiskan dengan indah keadaan seseorang yang telah sampai dalam perjalanan mendekati-Nya: "Tidak henti-hentinya hamba-hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan ibadat-ibadat nawafil (di samping ibadat fardhu) hingga Aku mencintainya. Kalau Aku sudah mencintainya, Aku akan menjadi telinganya yang dengannya ia mendengar; Aku akan menjadi matanya yang dengannya ia melihat; Aku akan menjadi tangannya yang dengannya ia memegang; Aku akan menjadi kakinya yang dengannya ia berjalan. Jika ia bermohon kepada-Ku, Aku akan mengabulkan permohonannya. Jika ia berlindung kepada-Ku, Aku akan melindungi dirinya." (HR. Bukhari)
→ Readmore...