Psikologi dan Agama; Bersaudara atau Bermusuhan

KH. DR. Jalaluddin Rakhmat

Pada tanggal 26 Juli 1875, di Kesswil, Swiss, lahir seorang anak dari ibu yang ahli bahasa dan bapak yang pendeta Protestan. Bayi ini tumbuh menjadi anak yang suka merenung dan tenggelam dalam mimpi-mimpinya. Ia sering mengalami pengalaman-pengalaman aneh. Misalnya, pada suatu hari di sekolah, anak kecil ini menulis sebuah karangan yang sangat bagus. Begitu bagusnya sehingga gurunya menuduh anak itu menjiplak karangan orang dewasa. Ia berusaha menyakinkan gurunya bahwa semuanya itu betul-betul karyanya sendiri. Sang guru bertahan pada dugaannya; dan anak kecil itu menelan kepahitan selama beberapa hari. Tiba-tiba, begitu ceritanya sebagaimana yang ia tuliskan;

Ada keheningan batiniah…seakan-akan nafas alam semesta dari gemintang dan ruang yang tidak terhingga menyentuhku, atau seakan-akan sesosok ruh masuk ke ruangan tanpa kelihatan- ruh dari seseorang yang sudah meninggal dunia, tetapi masih terus hadir dalam keabadian jauh sampai ke masa depan.

Kehadiran sosok gaib itu mendatangkan rasa damai, tentram, dan bahagia. Semua derita karena konflik dengan gurunya lenyap seketika.

Ia melanjutkan sekolahnya ke Fakultas Kedokteran di Zurich. Ia lulus dengan menulis tesis tentang pengalaman trance yang dialami oleh Helene Preiswerk, saudara sepupunya. Ketika magang sebagai psikiater, ia terpesona oleh kekuatan simbolis yang muncul dari para pasiennya. Pernah ia mendengarkan pengalaman pasien yang melihat matahari dengan phallus. Dengan sangat mengherankan, psikiater kita ini menemukan apa yang diceritakan pasien itu pada gambar peninggalan Mesir Kuno.

Ia termasuk pendukung awal psikoanalisis. Bersama Freud, ia bekerja selama lima tahun. Tidak selalu keduanya sepakat. Pada suatu hari,. ketika keduanya berbincang tentang parapsikologi di sebuah rumah tua di Wina, suara keras tiba-tiba terdengar dari lemari buku. Ia mengemukakan teori sinkronisitas kepada Freud. Suara keras dari lemari buku itu adalah "kebetulan yang berarti." Selama mereka berbincang tentang para psikologi, suara itu akan terdengar lagi. Memang setelah itu, suara keras lainnya menggelebap. Tapi, Freud menolak mentah-mentah teori itu.

Dalam perjalanannya ke Amerika Serikat, ia mengajak Freud untuk saling menganalisis mimpi. Freud mau menganalisis tapi tidak mau dianalisis. Ia ingin menegaskan pentingnya pengalaman spiritual, tetapi Freud tetap memandang teramat penting pengalaman seksual. Sejak itulah, ia bercerai dengan Freud. Orang yang kita bicarakan ini kelak terkenal sebagai pendiri mazhab piskologi analitis, Carl Gustav Jung. Jung telah menaikkan psikonalisis dari "gejolak seksual" ke "kedamaian spiritual." Jung melaporkan bahwa ia tidak pernah menemukan pasien yang berusia setengah umur yang masalah psikologisnya tidak berkaitan pada akhirnya dengan keberagamaan. Siapa saja, apa pun agamanya, pada satu momen dalam kehidupannya, harus berhadapan dengan masalah-masalah moral, religius, dan spiritual. Manusia, kata Jung, adalah "naturaliter religiosa," secara fitriah memang tidak bisa berpisah dengan agama. Jung hanya bisa menyembuhkan orang yang mengalami goncangan mental dengan memberikan jawaban atas masalah spiritual yang dihadapinya.

Pada 1944, Jung menderita myocardial infraction, dan beberapa kali mengalami apa yang nanti dikenal sebagai near death experience, pengalaman menjelang kematian. Di ranjang rumah sakitnya, beberapa kali Jung mengalami penglihatan ruhaniah, spiritual vision. Jika selama ini ia berusaha menjelaskan pengalaman spiritual secara ilmiah agar diterima pada lingkungan akademis, kali ini Jung sudah tidak peduli lagi. Ia hanya ingin menyampaikan kebenaran. Akhirnya ia menerbitkan Seven Sermons of the Dead, Synchronicity: An Acausal Connecting Principle, Answer to Job, Mysterium Coniunctionis, Memories, Dreams, Reflections. Pada akhir hayatnya ketika Jung diwawancara BBC apakah ia berpikir bahwa Tuhan itu ada, Jung menjawab, "I don’t think, I know He exists."

Sumbangan Psikologi untuk Kehidupan Beragama

Saya mengisahkan Jung untuk menunjukkan bahwa psikologi tidak selalu memusuhi agama. Psikologi memberikan sumbangan yang sangat berarti untuk memahami pengalaman keagamaan. Psikologi dapat menunjukkan apakah keberagamaan Anda itu membuat jiwa Anda lebih sehat dan hidup Anda lebih bahagia; atau apakah keberagamaan Anda dapat menjerumuskan Anda pada penyakit mental yang mengganggu hidup Anda dan hidup orang lain.

Hanya sekedar contoh saja, belakangan popular istilah kecerdasan spiritual. Danah Zohar, dalam Spiritual Intelligence, menulis tentang karakteristik orang yang spiritually dumb. Salah satu di antaranya ialah merasa diri paling salih, memonopoli kebenaran agama hanya untuk dirinya dan kelompoknya, menafikan atau setidak-tidaknya merendahkan paham keagamaan yang berbeda dengannya. Orang yang spiritually intelligent akan berkata seperti Zohar:

As a spiritually intelligent Christian, Muslim, Budhist or whatever, I love and respect my tradition –but I love it because it is one of the many forms expressing the potentiality of the centre. I have a deep and abiding respect for other traditions and other forms, and may even imagine myself capable of living some of these forms. As the thirtiteenth-century Sufi mystic Ibn Arabi expressed it:
My heart has become capable of every form: it is a pasture
For gazelles and a convent for Christian monks,
And a temple for idols and the pilgrim’s Ka’ba and the
tables of the Torah and the book of the Koran.
I follow the religion of love: whatever way Love’s
camels take, that is my religion and my faith.
(Seperti halnya orang-orang yang mempunyai spiritual inteligensia dari kalangan Kristiani, Muslim, Budha, atau apapun, saya mencintai dan menghormati tradisi saya –tetapi saya mencintai itu semua karena hal itu merupakan salah satu dari sekian banyak bentuk pengejawantahan potensialitas bathin manusia. Saya mempunyai sisi batin yang menjadi pusat penghormatan terhadap bentuk-bentuk dan tradisi yang lain dan saya bahkan berfikir bahwa saya akan bisa hidup dalam keragaman bentuk-bentuk itu. Seperti yang dikatakan oleh sufi dari abad ke-13, Ibnu ‘Arabi berkata:
Hatiku mampu menerima semua bentuk, hatiku adalah padang rumput
Untuk rusa-rusa betina dan biarawati dari kaum Kristiani.
Dan hatiku adalah sebuah kuil untuk penyembahnya
Dan hatiku adalah Ka’bah
Dan hatiku menjadi meja-meja bagi kaum Torah
Dan hatiku adalah kitab Alquran
Aku mengikuti agama cinta: bahkan sekedar kecintaan unta-unta sekalipun,
Itulah agama dan keyakinanku
(Diterjemahkan bebas oleh Mustamin AlMandary)

Karakteristik lain dari orang yang spiritually dumb adalah perhatian yang berlebihan kepada lambang-lambang kesalehan: aksesori kesalehan (seperti jubah, serban, tasbeh), ritus-ritus keagamaan, penggunaan bahasa yang sakral, dan sebagainya. Jika Anda menelaah pembahasan riya dalam Ihya ‘Ulum al-Din, Anda akan memahaminya dengan sangat baik bila Anda mempunyai latar belakang psikologis. Sebaliknya orang yang cerdas secara spiritual, tulis Khalil A. Khavari, profesor emeritus psikologi dari University of Wisconsin-Milwaukee, dalam Spiritual Intelligence, adalah keinginan untuk memberikan kontribusi bagi umat manusia. Bagi orang seperti itu, kesalehan adalah kemampuan untuk berkhidmat bagi orang lain, untuk menghibur orang yang menderita, mengenyangkan yang lapar, menyembuhkan yang sakit, memberikan pakaian kepada orang yang telanjang. Nabi Muhammad saw sedang menjelaskan ciri orang yang cerdas secara spiritual, ketika ia bersabda, "Manusia yang paling baik ialah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain."
Ini bukan saja spiritualitas yang cerdas, tetapi juga keberagamaan yang sehat. Seorang gadis Australia berusia delapan tahun tersentuh hatinya ketika mendengar sebuah puisi di sekolahnya. Perlahan-lahan puisi ini tumbuh dalam hatinya sebagai benih keimanan. Pada usia 41 tahun, benih ini berkembang menjadi pohon keimanan yang kokoh, ketika Amatullah Armstrong berbaiat di depan mursyid tarekatnya. Saya terjemahkan puisi ini untuk Anda sebagaimana yang saya kutip dari bukunya: The Sky is not the Limit: An Australian Woman’s Spiritual Journey within the Traditions:

Abou Ben Adhem
Leigh Hunt

Abou Ben Adhem (semoga kabilahnya bertambah!)
Bangun suatu malam dari mimpinya yang dalam dan indah
dan melihat, dalam cahaya rembulan di biliknya,
yang membuatnya gemerlap, seperti bunga Lili yang merekah,
Seorang malaikat sedang menulis dalam buku emasnya.
Ketentraman yang luar biasa membuat Ben Adhem berani,
dan kepada yang hadir di kamarnya ia berkata,
"Apa yang sedang engkau tuliskan?"
Bayangan itu mengangkat kepalanya
dan dengan pandangan yang menyejukkan segalanya,
Berkata, "Nama-nama mereka yang mencintai Tuhan."
"Apakah namaku salah satu di antaranya?" kata Abou. "Tidak, tidak ada,"
menjawab Sang Malaikat. Abou bicara lebih perlahan
tapi seraya masih ceria, ia berkata, "Kalau begitu, aku mohonkan,"
"Tuliskan aku sebagai orang yang mencintai sesama manusia."
Malaikat menulis dan menghilang. Malam berikutnya
ia datang lagi dengan cahaya yang sangat mempesona
dan memperlihatkan nama-nama orang yang telah diberkati cinta Tuhan,
Dan nun di sana! Nama Ben Adhem di atas nama semuanya.

Konsep spiritual intelligence lahir dari mazhab baru dalam psikologi: Psikologi Transpersonal. Psikologi transpersonal disebut baru bila melihat perkembangannya pada awal milenium ketiga. Dasar-dasar psikologi ini sudah diletakkan jauh sebelumnya oleh antara lain Carl Gustav Jung, William James, Abraham Maslow, Victor Frankel dan Assagioli, serta belakangan ini oleh Ken Wilbur, Stanislav Grof, Seymour Boorstein, Daniel Goleman dan lain-lain.

Kelahiran Psikologi Transpersonal (selanjutnya PT) membantu umat beragama lebih dari sekedar memahami gejala keagamaan; tetapi juga membantu melakukan transformasi spiritual. Tidak mungkin saya membicarakan Psikologi Transpersonal sekarang ini: baik karena keterbatasan ruang dan waktu (alasan yang dikemukakan) maupun karena keterbatasan pengetahuan saya (alasan yang sebenarnya). Saya hanya akan memberikan contoh pengalaman Malcolm Goldsmith, seorang psikolog yang memasuki PT karena kegagalannya untuk merasakan kenikmatan sembahyang:

Saya telah berusaha keras bersembahyang selama bertahun-tahun. Saya telah berusaha bangun jam 5:30 pagi untuk melakukan sembahyang satu atau dua jam, membaca Alkitab, dan merenung; sembahyang harian dalam jemaat; membaca buku-buku; mencoba pola-pola baru; gerakan sosial dan keterlibatan; pengasingan diri dan ritret. Sering kali hasil akhirnya adalah pengalaman berbicara kepada ketiadaan dan mendengarkan keheningan yang menulikan telinga sebagai balasannya. Saya merasa seperti nabi yang berkata, "Sungguh engkau adalah seorang Tuhan yang menyembunyikan dirinya."

Walaupun saya sering mengalami kegagalan, saya tetap setia melakukan sembahyang. Karena sangat sering dan pada waktu-waktu tertentu dalam hidupku saya menyadari sesuatu ‘kelainan’ (otherness) yang saya tahu saya mempunyai kebutuhan untuk memberikan respon kepadanya. Karena itu, saya dapat memahami dan mengerti ucapan Dag Hammarskjold, mantan sekjen PBB yang menulis, :"Once I answered Yes to Someone— or Something. And from that hour I was certain that existence is meaningful and that, therefore, my life, in self surrender, has a goal."

Saya tidak percaya bahwa ketidakmampuan saya sembahyang disebabkan oleh ‘kurang iman’. Saya selalu ingin beriman walaupun iman itu saya peroleh dengan sangat sulit. Seperti Thomas Merton, saya percaya bahwa keinginan untuk memperoleh rida Tuhan sungguh-sungguh akan menyenangkan Tuhan, tak jadi soal apakah keinginan itu terpenuhi atau tidak. Saya telah menyadari bahwa entah bagaimana ada pertentangan antara otak saya dan hati saya. Secara intelektual, saya tahu apa yang disebut sembahyang, saya telah mencoba mempraktikkan apa yang telah saya pelajari tetapi selalu saja ada sesuatu yang hilang. Apa pun macamnya "sesuatu itu", saya menafsirkannya sebagai pengalaman sembahyang.

Malcolm Goldsmith kemudian menemukan gabungan antara hati dan otak; ia tahu bahwa kita hanya bisa sembahyang dengan baik bila kita mengenal siapa diri kita. Setiap orang punya caranya yang unik dalam berhubungan dengan Yang Mahakuasa, sesuai dengan tipe kepribadiannya. Seperti kata Nabi Muhammad saw, "Barangsiapa mengenal dirinya, ia mengenal Tuhannya." Dari kegelisahannya dalam sembahyang, Goldsmith sampai kepada studi tentang tipologi kepribadian Myers-Briggs, yang lagi-lagi bisa dilacak kepada Carl Gustav Jung. Ia menulis bukunya dengan judul yang memikat, seperti parafrase dari sabda Nabi Muhammad: Knowing Me Knowing God.

Dalam perkembangannya yang terakhir, PT bukan saja menyumbang pada kehidupan beragama, tetapi juga menerima sumbangan daripadanya. Tradisi mistikal dari berbagai agama: Zen Budhism, Yoga, Sufisme, Kabbalah, Shamanisme, Tradisi Mistikal Kristiani, telah menjadi pusat perhatian dan penelitian para psikolog. Psikologi sudah bergerak dari studi perilaku yang bisa diamati, bawah-sadar yang tersembunyi, kesadaran, sampai kepada ruh atau kesadaran paling tinggi, yang melintasi (trans) diri yang biasa, terbatas, dan personal.

Sumbangan agama bagi psikologi memerlukan diskusi tersendiri, di luar luas lingkup makalah ini. Tetapi kita dapat menyimpulkan kontribusi agama pada psikologi dengan menyimak percakapan antara Freud dengan muridnya Flugel, pada tahun 1938.

Flugel: Ceritakan padaku Maestro, bagaimana sebenarnya cara psikoanalisis menyembuhkan pasiennya?
Freud: Pada suatu saat selama analisis, si analis mencintai pasiennya, dan pasien dapat mengetahuinya, dan sembuhlah pasien itu.

Agama membantu para psikoterapis untuk mendekati manusia dengan pendekatan cinta. Jika sains berusaha menganalisis jenis bola lampu, bahannya, komponennya, kabelnya, strukturnya; maka agama berusha untuk menghubungkan bola lampu itu dengan Pusat Energi- Pusat Cinta, Yang Mahakasih dan Mahasayang. Psikologi –sebagai sains- hanya menggunakan akal. Agama menaikkan akal ke pangkuan Cinta. Jalaluddin Rumi menutup perbincangan kita:

Jika kamu bangun kandang ayam-
Jangan simpan unta –dengan leher panjang - di dalamnya
Ayam itu akal dan kandang itu tubuhmu
Unta adalah keindahan Cinta,
dengan kepala tegak dan menjulang tinggi
(Divan-e Syams-e Tabrizi, 31168-69)

Makalah KH. Jalaluddin Rakhmat dalam Seminar Psikologi dan Agama yang diadakan oleh Ikatan Sarjana Psikologi Unpad, pada hari Sabtu, 14 Oktober 2000, di Hotel Horison, Bandung.

Daftar Bacaan
Boorstein, Seymour. 1980. Transpersonal Psychotherapy. PaloAlto: Science and Behavior Books
Boorstein, Seymour. 1997. Clinical Studies in Transpersonal Psychotherapy. New York: State University of New York Press.
Cortright, Brant. 1997. Psychotherapy and Spirit: Theory and Practice in Transpersonal Psychotherapy. New York: State University of New York Press.
Dossey, Larry. 1989. Recovering the Soul: A Scientific and Spiritual Search. New York: Bantam Books.
Goldsmith, Malcolm. 1997. Knowing Me Knowing God. Nashville: Abingdon Press.
Khavari, Khalil A. 2000. Spiritual Intelligence. Ontario: White Mountain.
Mann, Richard D. 1984. The Light of Consciousness: Explorations in Transpersonal Psychology. New York: New York: State University of New York Press.
Scotton, Bruce W, et al. 1996. Textbook of Transpersonal Psychiatry and Psychology. New York: BasicBooks.
Sinetar, Marsha. 2000. Spiritual Intelligence: What We Can Learn from the Early Awakening Child. New York: Orbis Book.
Sterling, Marysol Gonzalez. 1995. I-Ching and Transpersonal Psychology. Maine: Samuel Weiser Inc.
Tart, Charles T. 1991. Transpersonal Psychologies: Perspectives on the Mind from Seven Great Spiritual Traditions. San Francisco: HarperSan Francisco.
Walsh, Roger N dan Frances Vaughan. 1980. Beyond Ego: Transpersonal Dimensions in Psychology. Los Angeles: J.P. Tarcher, Inc.
Washburn, Michael. 1988. The Ego and the Dynamic Ground. New York: State University of New York Press.
Wilber, Ken. 1980. The Atman Project. Madras: The Theosophical Publishing House.
Zohar, Danah dan I. Marshall. 2000. Connecting with our Spiritual Intelligence. New York: Bloomsbury..

Posting Komentar

free counters